Oleh : Ustad Juneid
Sumenep, Salam News. Id – Dalam samudera kebijaksanaan para ulama dan sahabat Rasulullah ﷺ, terdapat mutiara-mutiara yang tidak lekang oleh zaman. Di antaranya adalah perkataan mendalam dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Abu Zakariya Yahya bin Mu’adz rahimahullah. Dua tokoh besar ini memberikan kita panduan hidup yang melampaui batas waktu—tentang bagaimana memosisikan diri dalam urusan dunia dan akhirat, serta bagaimana bersikap terhadap sesama manusia.
Kebesaran Jiwa dalam Kedermawanan

Sayyidina Ali berkata, “Bermurah hatilah kepada siapa pun yang kauinginkan, karena engkau adalah pemimpin mereka.”
Ungkapan ini bukan hanya nasihat tentang sedekah, tapi juga tentang kepemimpinan moral. Dalam setiap pemberian, terkandung kekuasaan hati. Orang yang dermawan menjadi pemimpin dalam cinta, karena hati manusia cenderung tunduk kepada kebaikan. Memberi bukan hanya soal harta, tapi juga waktu, perhatian, dan ilmu. Dalam hal ini, kedermawanan bukan hanya amal, melainkan jalan menuju kemuliaan.
Ia juga berkata, “Bertanyalah kepada siapa pun yang kauinginkan, karena engkau adalah tawanan mereka.”
Ketika seseorang bertanya, apalagi meminta bantuan, ia menunjukkan kebutuhan dan ketergantungan. Dalam posisi ini, ia menjadi ‘tawanan’ dari orang yang ditanyai. Maka, betapa mulianya seseorang yang mampu memenuhi kebutuhan orang lain dengan ikhlas, tanpa membuatnya merasa terhina atau lemah. Dan betapa bijaknya seseorang yang sadar bahwa terlalu bergantung akan membuatnya kehilangan kemuliaan diri.
Sayyidina Ali pun melanjutkan, “Aku adalah budak siapa pun yang mengajariku satu huruf. Jika dia mau, dia dapat menolongku, dan jika dia mau, dia dapat membebaskanku.”
Ini adalah bentuk kerendahan hati yang luar biasa. Dalam dunia yang sering menjadikan ilmu sebagai alat kesombongan, Ali radhiyallahu ‘anhu justru menunjukkan bahwa ilmu adalah sebab kehambaan. Siapa yang mengajarkan kita ilmu, telah mengikat kita dalam ikatan kehormatan dan hutang budi yang tak ternilai.
Menjaga Martabat dengan Tidak Bergantung
Salah satu hikmah terpenting dari perkataan Ali adalah tentang kecukupan diri. “Dan tidak bergantung kepada siapa pun yang kamu inginkan, karena kamu setara dengannya.”
Artinya, kemuliaan seseorang terjaga ketika ia tidak bergantung kepada orang lain, terutama dalam hal dunia. Dengan mencukupkan diri terhadap apa yang dimiliki, seseorang menjaga harga dirinya, tidak menjual kehormatan demi dunia yang fana.
Meninggalkan Dunia, Menggapai Akhirat
Sementara itu, Yahya bin Mu’adz rahimahullah memberikan pelajaran tentang keseimbangan antara dunia dan akhirat. Ia berkata, “Meninggalkan dunia berarti mengambil akhirat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia mengambil semuanya, dan barangsiapa mengambil semuanya, maka ia meninggalkannya.”
Ini adalah pelajaran tentang prioritas. Dunia dan akhirat seperti dua kutub yang saling bertolak belakang: semakin kita mencintai dunia, semakin jauh kita dari akhirat. Namun, ketika kita berpaling dari dunia demi Allah, kita justru mendapatkan segalanya—ketenangan, cinta-Nya, dan kebahagiaan abadi.
Bagi Yahya bin Mu’adz, dunia dan akhirat adalah dua kekasih yang cemburu. Mustahil mencintai keduanya dalam satu waktu. Siapa yang benar-benar mencintai akhirat, pasti akan mengurangi keterikatannya pada dunia. Dan siapa yang terbuai oleh dunia, pasti melupakan akhirat.
Kesimpulan: Jalan Kemuliaan Ada di Tanganmu
Perkataan-perkataan ini bukan hanya teori spiritual. Ia adalah kompas hidup—untuk siapa saja yang ingin hidup dengan bermartabat, mulia, dan dekat dengan Allah.
- Bermurah hatilah, karena itu jalan menuju kepemimpinan hati.
- Jangan terlalu bergantung, karena itu menjaga kehormatanmu.
- Cintailah akhirat, karena itu adalah rumah abadi yang sebenarnya.
Di tengah dunia yang semakin materialistik dan individualis, hikmah-hikmah ini mengingatkan kita untuk kembali kepada akar—kepada kehidupan yang seimbang antara dunia dan akhirat, antara memberi dan menerima, antara belajar dan mengamalkan.
Semoga Allah meridhai Sayyidina Ali dan merahmati Yahya bin Mu’adz atas ilmu dan cahaya yang terus menyinari hati kita hari ini.(Red/Part.16)
Refrensi Kajian,
Kitab Nashaihul Ibad
وَعَنْ عَلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: تَفَضَّلْ عَلَى مَنْ شِئْتَ فَأَنْتَ أَمِيرُهُ، وَاسْأَلَ مَنْ شِئْتَ فَأَنتَ أسيره، وَاسْتَفْنِ عَمَّنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ نَظِيرُهُ.
وَعَنْ يَحْيَى بْنِ مُعَادٍ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ : تَرْكُ الدُّنْيَا كُلِّهَا أَخَذُ الْآخِرَةِ كُلَّهَا . فَمَنْ تَرَكَهَا كُلَّهَا ، أَخَذَهَا كُلَّهَا، وَمَنْ أَخَذَهَا كُلَّهَا ، تَرَكَهَا كُلَّهَا، فَأَخَذَهَا فِي تَرْكِهَا، وَتَرَكَهَا فِي أَخْذِهَا .
(و) المقالة التاسعة والعشرون (عن علي رضي الله عنه وكرم وجهه
تفضل على من شئت أي أحسن إليه وأنعم عليه فأنت أميره) أي إن أحسنت إلى شخص بالعطاء صرت أميراً له واسأل من شئت فأنت أسيره) أي واسأل الناس ما تحتاجه من المال والعلم فإن احتجت إلى شخص في ذلك صرت عبداً له لأن النفوس جبلت بحب من أحسن إليها كما في الحديث: وَمَنْ أَحَبَّ شَيْئاً فَهُوَ أَسِيرٌ لَهُ، وتقول علي كرم الله وجهه: أنا عبد من علمني حرفاً فإن شاء ياعني وإن شاء أعتقني واستغني عمن شئت فإنك نظيره) أي اكتف بما عندك من الرزق ولا تفتقر في المال لشخص غني كثير المال فإن لم تفتقر إليه صرت غنياً مثله
(و) المقالة الثلاثون (عن أبي زكريا يحيى بن معاذ رحمة الله عليه: ترك الدنيا كلها أخذ الآخرة كلها لأنهما كالضرتين فمن تركها) أي الدنيا كلها أخذها) أي الآخرة (كلها) أي فمن أعرض عن الدنيا بالكلية أحب الآخرة حباً كثيراً ومن أخذها) أي الدنيا كلها تركها ) أي الآخرة (كلها) أي فمن أحب
الدنيا بالكلية أعرض عن الآخرة بالكلية فأخذها في تركها) أي فحب الآخرة سبب الإعراض عن الدنيا وتركها في أخذها أي وبغض الدنيا بسبب حب