Sumenep, Salam News. Id – Kemajuan teknologi yang tak terbendung menjadikan media sosial bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan remaja masa kini.Remaja masa kini tumbuh di tengah era digital, di mana informasi mudah diakses dan komunikasi dilakukan hanya dengan jari.
Platform seperti Instagram, TikTok, Facebook, hingga YouTube menjadi ruang remaja untuk berekspresi, bersosialisasi, dan mencari jati diri mereka. Namun di balik semua itu, media sosial menyimpan bahaya serius bagi kesehatan mental generasi muda yang belum sepenuhnya matang.
Dunia Maya yang Menyilaukan

Awalnya, media sosial diciptakan sebagai alat komunikasi dan berbagi informasi, kini berubah menjadi panggung pencitraan diri yang ekstrem. Remaja berlomba menampilkan kehidupan sempurna, membagikan unggahan yang seringkali tidak mencerminkan realitas, tapi sekadar ilusi.
Mereka ingin terlihat bahagia, cantik, sukses—semua demi mendapat validasi dari komentar dan jumlah “likes” yang terus dikejar. Ketika harapan tidak terpenuhi, remaja mudah merasa minder, kecewa, bahkan cemas dan depresi karena kehilangan pengakuan sosial.
Statistik dan Realita Digital
Menurut Statistik Pendidikan 2024 dari BPS, lebih dari 90 persen remaja Indonesia menggunakan internet untuk hiburan semata, bukan pembelajaran. Sebanyak 67 persen remaja aktif di media sosial, namun hanya 27 persen yang memanfaatkannya untuk kegiatan pendidikan atau pengembangan diri.
Itu artinya, sebagian besar remaja kita lebih banyak hidup dalam dunia maya dibandingkan realitas kehidupan nyata yang ada di sekitar. Fenomena ini menyiratkan bahwa teknologi, jika tidak dikontrol, bisa menjauhkan remaja dari pengalaman sosial yang lebih bermakna secara nyata.
Kecanduan dan Dampak Psikologis
Penggunaan media sosial yang berlebihan memicu kecanduan. Remaja menjadi gelisah saat tidak membuka aplikasi dalam waktu tertentu. Fokus pada layar menyebabkan mereka sulit berkonsentrasi, mengabaikan tugas, dan kehilangan minat pada interaksi sosial di lingkungan sekitar.
Fenomena “bersama tapi sendiri” muncul—meski berkumpul, remaja lebih sibuk dengan ponsel dibanding berbicara langsung dengan teman. Kecanduan ini membuka jalan bagi gangguan psikologis seperti cemas, depresi, dan gangguan tidur yang mengganggu kualitas hidup remaja.
Cyberbullying: Kekerasan di Balik Layar
Media sosial juga menjadi tempat terjadinya kekerasan digital, seperti perundungan siber atau cyberbullying, yang menyasar aspek personal korban. Cyberbullying bisa berupa ejekan fisik, status ekonomi, penampilan, hingga latar belakang keluarga—semuanya dilakukan secara berulang dan kejam.
UNICEF menyebut cyberbullying sebagai kekerasan psikologis yang membekas, membuat korban merasa tidak aman, takut, dan rendah diri. Jika tidak ditangani, korban dapat mengalami trauma mendalam, kehilangan kepercayaan diri, bahkan terdorong melakukan tindakan ekstrem seperti bunuh diri.
Bunuh Diri: Pelarian yang Tragis
Kasus bunuh diri remaja meningkat, dan media sosial memperparah krisis psikologis yang dialami dalam diam oleh banyak generasi muda. Tekanan akademis, konflik keluarga, perundungan, hingga pencarian jati diri menjadi faktor penyebab utama yang semakin kompleks di era digital.
Sayangnya, masalah kesehatan mental masih dianggap tabu dan kerap diremehkan oleh lingkungan sekitar, termasuk keluarga dan sekolah.Padahal, dampaknya nyata: prestasi menurun, hubungan memburuk, dan remaja kehilangan semangat hidup serta arah masa depan.
Strategi Bijak Menghadapi Teknologi
Kemajuan teknologi tidak bisa dihentikan, tapi bisa diarahkan. Remaja perlu didampingi agar bijak menggunakan media sosial secara sehat. Langkah pertama: batasi waktu menggunakan media sosial setiap hari agar tidak menjadi candu yang membunuh waktu dan energi produktif.
Kedua, ajak remaja menjalani aktivitas bermakna seperti membaca, berolahraga, atau berkegiatan sosial agar hidup mereka lebih seimbang. Ketiga, gunakan media sosial untuk edukasi: cari konten bermanfaat, inspiratif, dan menambah pengetahuan serta nilai positif dalam kehidupan.
Detoks Digital dan Literasi Digital
Jika media sosial terasa merusak hidup, lakukan detoks digital: hapus aplikasi sementara dan ambil waktu untuk kembali ke dunia nyata.Remaja juga harus dibekali literasi digital agar mampu memilah konten, tidak mudah termakan hoaks, dan tidak ikut tren negatif.
Belajar menyaring sebelum membagikan konten adalah langkah awal membangun budaya digital yang sehat, cerdas, dan penuh tanggung jawab. Kemampuan ini penting agar remaja tidak hanyut dalam arus digital tanpa arah yang bisa mengancam kesehatan mental mereka.
Peran Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat
Kunci menjaga kesehatan mental remaja terletak pada dukungan lingkungan—keluarga, sekolah, dan masyarakat harus hadir secara aktif. Keluarga harus menjadi tempat paling aman untuk remaja berbagi cerita, tanpa dihakimi atau disepelekan masalah yang mereka hadapi.
Sekolah perlu mengembangkan pendidikan karakter, konseling psikologis, serta kampanye literasi digital yang menyentuh semua lapisan siswa. Masyarakat juga bisa menyediakan ruang aman untuk remaja berkumpul, berkreasi, dan membangun relasi sosial secara langsung dan sehat.
Menjaga Generasi Digital Tetap Waras
Media sosial bagaikan pisau bermata dua—bisa jadi alat tumbuh dan belajar, tapi juga bisa menjadi racun bagi kesehatan mental. Kecanduan, kecemasan, depresi, hingga bunuh diri bukan sekadar ancaman, melainkan realita yang kini semakin banyak terjadi.
Karena itu, menjaga kesehatan mental remaja bukan hanya tugas individu, tapi tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam hidupnya.Dengan dukungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, generasi muda bisa tumbuh tangguh, waras secara digital, dan sehat mental.(Red)
Penulis adalah Siswi SMAS Plus Miftahul Ulum