Sumenep, Salam News. Id – Langkah konkret mencegah pernikahan anak kembali digaungkan. KUA Sumenep mengadakan Seminar Nasional bertema “Stop Stunting, Skip Nikah Dini!”. Acara ini berlangsung di Aula STAIM Terate, Kamis (31/7). Seminar bertujuan membentuk kesadaran kolektif tentang bahaya pernikahan usia dini.
Kepala Kemenag Sumenep, Abdul Wasid, membuka acara. Ia menegaskan nikah dini adalah isu serius yang menyangkut masa depan bangsa. “Menunda nikah dini bukan menolak pernikahan,” ujar Wasid. “Tapi memberi ruang bagi remaja menyiapkan diri secara utuh.”
Menurutnya, remaja berhak tumbuh sehat fisik, mental, sosial. Terlalu dini menikah dapat menghambat perkembangan mereka secara menyeluruh. Seminar ini menghadirkan empat narasumber dari berbagai sektor. Mereka memberikan pandangan lengkap mengenai risiko nikah usia anak.

Marwan, Kepala KUA Sumenep, menyampaikan pentingnya literasi keluarga sejak dini. Pemahaman peran dalam rumah tangga sangat diperlukan. “Menikah bukan hanya soal cinta,” jelas Marwan. “Tapi juga kesiapan mental, tanggung jawab pengasuhan, dan keuangan yang stabil.”
Farah Diba Yulia dari BKKBN menjelaskan korelasi nikah dini dan stunting. Ia menampilkan data nasional yang mengkhawatirkan. Menurut Farah, angka stunting tinggi di wilayah dengan pernikahan dini. Menunda pernikahan adalah salah satu strategi penurunan stunting.
Dari sisi medis, Fatimatul Insyoniah dari Puskesmas Pandian menyampaikan bahaya kehamilan muda bagi ibu dan bayi. Komplikasi kehamilan, gizi buruk, hingga kematian ibu-anak meningkat. Nikah dini berisiko besar terhadap kesehatan generasi selanjutnya.
Psikolog muda Ning Hielma Hasanah menyoroti tekanan sosial yang menimpa remaja. Ia bicara soal budaya yang mendorong nikah dini. “Remaja perempuan sering dipaksa menikah,” kata Ning. “Padahal mereka belum siap secara emosional dan psikologis untuk berumah tangga.”
Ning menambahkan pentingnya membangun self-esteem dan ketahanan mental. Remaja harus kuat menolak tekanan lingkungan sekitar mereka. Seminar dihadiri ratusan pelajar, mahasiswa, tokoh masyarakat. Mereka mengikuti dengan antusias, berdiskusi, dan berbagi pandangan.
Antusiasme peserta menunjukkan GELIAT bukan sekadar seminar. Tapi sebuah gerakan sosial dengan dampak yang luas dan berjangka panjang. “GELIAT harus berlanjut dan diperluas,” harap Marwan. Ia ingin gerakan ini menjadi solusi nyata menurunkan angka nikah usia anak.
Ia yakin kolaborasi lintas sektor sangat penting. Pemerintah, sekolah, masyarakat harus bersinergi dalam mendukung remaja menunda nikah. Dengan edukasi dan pendampingan, remaja lebih siap menjalani kehidupan dewasa. Menunda nikah dini adalah bentuk investasi masa depan.
Gerakan ini menekankan pentingnya literasi, kesehatan, dan pemberdayaan. Ketiganya menjadi pondasi menuju generasi yang lebih kuat. GELIAT bukan sekadar akronim menarik. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap kemiskinan yang bersumber dari pernikahan dini.
Dengan langkah konkret seperti ini, masa depan generasi muda bisa diselamatkan. Sumenep menjadi contoh bagi daerah lainnya di Indonesia.(Red)