Sumenep, Salam News. Id – Imam Ghazali, seorang ulama besar yang dikenal luas dengan pemikiran mendalamnya tentang agama, filsafat, dan etika, sering kali menjadi sumber inspirasi bagi banyak kalangan. Namun, pandangannya tentang peran ulama dalam politik cukup menarik dan kontroversial. Dalam beberapa karyanya, Imam Ghazali menekankan pentingnya menjaga integritas moral dan keilmuan, serta mengingatkan tentang bahaya jika seorang ulama terlibat dalam politik duniawi yang penuh dengan godaan dan konflik kepentingan.
Imam Ghazali sendiri dikenal sebagai sosok yang sangat menjaga jarak antara ilmu agama dan urusan dunia. Menurutnya, jika seorang ulama terjun ke dalam politik, ada kemungkinan besar bahwa dia akan kehilangan kemurnian niatnya dalam menyebarkan ilmu dan kebenaran agama. Ghazali bahkan menggambarkan ulama yang terlibat dalam politik sebagai “pencuri” yang mengambil hak-hak rakyat dan mengorbankan prinsip-prinsip agama demi kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam karya terkenalnya, Ihya’ Ulum al-Din, Imam Ghazali menyatakan bahwa ilmu agama seharusnya digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bukan untuk meraih keuntungan duniawi. Politik, dengan segala intrik dan kepentingannya, bisa menjadi jebakan yang mengalihkan perhatian ulama dari tujuan spiritual mereka. Dalam pandangannya, seorang ulama yang terjun ke dunia politik, apalagi dengan tujuan meraih kekuasaan, akan terjerumus pada perilaku yang tidak sesuai dengan tuntunan agama.

Pandangan Imam Ghazali ini mungkin tampak radikal, tetapi jika ditelaah lebih dalam, ia menunjukkan kegelisahan terhadap korupsi moral yang bisa terjadi ketika seorang pemimpin agama terlibat dalam politik. Dalam banyak kasus sejarah, kita melihat bahwa kekuasaan sering kali membawa perubahan pada sikap dan perilaku seseorang.
Ulama yang awalnya tulus dalam menyebarkan agama bisa berubah menjadi pribadi yang lebih mementingkan keuntungan duniawi, seperti kekuasaan dan uang.
Imam Ghazali juga tidak menutup kemungkinan bahwa seorang ulama dapat memiliki niat baik dalam politik. Namun, ia sangat khawatir bahwa niat baik tersebut dapat tergelincir ketika ulama tersebut terlibat dalam konflik politik yang penuh dengan kepentingan pribadi dan kelompok. Baginya, setiap ulama yang masuk dalam dunia politik harus siap dengan konsekuensi besar, yaitu kehilangan kemurnian ilmu dan pengaruh agama dalam masyarakat.
Konsep “pencuri” dalam pandangan Imam Ghazali mengacu pada pengambilalihan hak-hak rakyat yang seharusnya dilindungi dan dibimbing oleh para ulama, namun malah digunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Dalam dunia politik yang penuh dengan persaingan dan tipu daya, kata “pencuri” ini menjadi simbol dari penyalahgunaan kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk kebaikan umat.
Sebagai ulama, menurut Imam Ghazali, tugas utama adalah menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Mereka harus menjadi panutan dalam hal akhlak dan moralitas, serta mengarahkan umat pada kebenaran. Jika seorang ulama terjerumus dalam politik dan mengabaikan tugas utamanya dalam membimbing umat, ia akan kehilangan peranannya sebagai penjaga moralitas dan kebenaran. Dalam konteks ini, keterlibatan ulama dalam politik bisa memicu kerusakan sosial yang lebih besar, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi masyarakat luas.
Pada akhirnya, pandangan Imam Ghazali tentang ulama yang masuk politik sebagai “pencuri” menggambarkan betapa pentingnya menjaga integritas dan kesucian ilmu agama. Ulama yang terlibat dalam politik, jika tidak hati-hati, bisa kehilangan posisi mereka sebagai pembimbing spiritual dan malah menjadi bagian dari masalah besar yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, Imam Ghazali mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap godaan duniawi yang bisa menyesatkan, terlebih bagi mereka yang memiliki tanggung jawab moral dan spiritual yang besar.
Kesimpulannya, Imam Ghazali mengajarkan kita bahwa peran ulama dalam masyarakat adalah untuk menjaga nilai-nilai moral dan agama. Politik, dengan segala godaannya, bisa menjadi jebakan bagi ulama yang tidak cukup kuat menjaga niat dan integritasnya. Sehingga, keterlibatan ulama dalam politik harus dilakukan dengan sangat hati-hati, agar tidak tergelincir menjadi “pencuri” yang merugikan umat. (Red)