Sumenep, Salam News. Id – Pada zaman Nabi, banyak sahabat yang memberi petunjuk kepada umat tentang pentingnya ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah Yahya bin Ma’ad radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengajarkan bahwa Tuhan tidak murah hati kepada orang yang bergantung pada dunia semata. Oleh karena itu, seseorang yang berfokus pada kekayaan dan kesenangan duniawi, akan kehilangan keberkahan dalam hidupnya.
Ketakwaan, menurut para ulama, adalah modal utama untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Al-A’mash radhiyallahu ‘anhu, dengan ketakwaannya, mengingatkan umat tentang pentingnya menjaga lidah. Orang yang menjaga lisannya dan berbicara dengan penuh kehati-hatian, akan terhindar dari keburukan. Sebaliknya, orang yang hanya berfokus pada dunia, seringkali lidahnya berbicara hal-hal yang merusak akhlak.
Dari riwayat Al-A’mash, kita juga tahu bahwa ketakwaan menjadi indikator utama dalam menilai seseorang. Ketakwaan adalah sumber kebijaksanaan, sementara ketergantungan pada duniawi akan menjadikan seseorang terjerat dalam kelalaian. Begitu pula, jika seseorang ingin menjaga dirinya dari dosa dan kesalahan, maka ketakwaan adalah senjata yang sangat efektif.

Sufyan Al-Thawri radhiyallahu ‘anhu menambahkan bahwa setiap kemaksiatan yang timbul karena ketenaran atau kesombongan tidak akan diampuni. Hal ini disebabkan oleh kesombongan yang bersumber dari kebesaran, yang pada awalnya dilakoni oleh iblis yang menolak untuk tunduk pada perintah Allah. Akibatnya, kesalahan yang datang dari hawa nafsu sangat sulit untuk diperbaiki.
Al-A’mash juga menyampaikan bahwa perbuatan dosa yang timbul dari kecintaan terhadap dunia hanya akan membawa kerugian. Mereka yang mengandalkan dunia sebagai tujuan utama, akhirnya akan merasa kehilangan. Sebaliknya, orang yang mengutamakan ketakwaan dalam hidupnya, meski dunia tidak memberikan apa yang diinginkannya, akan tetap memperoleh kedamaian batin.
Melalui ajaran-ajaran para ulama besar seperti Sufyan Al-Tshawri dan Yahya bin Ma’ad, umat Islam diajarkan untuk tidak menggantungkan harapan pada dunia. Keinginan duniawi yang berlebihan justru bisa mengarahkan seseorang pada kerugian besar. Hal ini karena dunia hanyalah sementara, sedangkan akhirat adalah tujuan utama yang kekal.
Pasal ketujuh dari Yahya bin Ma’ad mengajarkan bahwa siapa yang durhaka kepada Allah akan kehilangan keutamaan hidup yang sejati. Ia yang meninggikan dirinya dengan ketakwaan akan terhindar dari dosa, dan ia yang menjaga diri dari akhlak buruk akan memperoleh kehidupan yang bermakna. Ini adalah bentuk bijaksana dalam menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai agama.
Di sisi lain, pasal kedelapan dari riwayat Al-A’mash mengingatkan umat tentang bahaya kecintaan terhadap dunia. Orang yang lebih mengutamakan dunia daripada agama, akhirnya akan kehilangan arah. Dalam pandangannya, keduniawian bisa menghalangi seseorang untuk memahami kedalaman ajaran agama. Oleh karena itu, ketakwaan adalah modal utama dalam menjaga diri agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan.
Sufyan Al-Thawri juga menegaskan bahwa setiap tindakan dosa yang timbul karena nafsu, seperti kesombongan atau ketenaran, tidak akan mendapatkan ampunan. Hal ini disebabkan oleh dosa pertama yang dilakukan oleh iblis, yang menolak perintah Allah karena merasa lebih baik daripada Nabi Adam. Dosa ini berawal dari keinginan untuk menunjukkan keunggulan diri, dan tidak ada harapan untuk ampunan dari Allah.
Setiap kemaksiatan yang muncul akibat kesombongan atau kecintaan terhadap dunia akan mengarah pada kehancuran. Sufyan Al-Thawri menegaskan bahwa kesombongan merupakan sumber dosa terbesar, dan bagi siapa saja yang melakukannya, pintu ampunan tertutup. Oleh karena itu, umat Islam harus senantiasa menjaga hati agar tidak terjerumus dalam keburukan.
Secara keseluruhan, ajaran dari Yahya bin Ma’ad, Al-A’mash, dan Sufyan Al-Thawri memberikan petunjuk penting bagi umat Islam. Ketakwaan adalah kunci kebahagiaan, sementara kecintaan terhadap dunia hanya akan menjerumuskan seseorang dalam kesesatan. Dengan mengikuti ajaran para ulama ini, umat Islam dapat menjaga diri dari keburukan dan hidup dalam kebaikan yang penuh keberkahan.(Red/Part 2)
Refrensi Kajian,
وَعَنْ يَحْيَى بن مُعَادٍ رَضِيَ الله عَنْهُ مَا عَلَى الله كَرِيمٌ، وَلَا أَثر الدُّنْيَا على الأجرة حكيم.
وعن الأعمشي رضي الله عنه من كان رأس ماله التقوى كلب الألسن
وعن الأعمشي رضي الله عنه من كان رأس ماله التقوى كلب الألسن من وصف رنح بينو، ومن كان رأس ماليه الدنيا كلب الألسن عن وصف ختران به
وعَن سفيان الثوري رضي الله عنه كُل مَعْصِيَةٍ عَنْ شَهْرَةٍ فَإِنَّهُ يُرْحَى مقراتها، وكل معصية من كبر فإنه لا يرجى غفرانها، لأن مَعْصِيَة إِبْلِيسَ كَان أصلها من الكبير، وزلة قدم كَان أَصلها من الشهوة.
(و) المقالة السابعة (عن يحيى بن معاذ رضي الله عنه: ما عصى الله كريم) أي حميد الفعال وهو من يكرم نفسه بالتقوى وبالاحتراس من المعاصي ولا اكثر الدنيا) أي لا قدمها ولا فضلها على الآخرة حكيم) أي مصيب في الفعاله وهو من يمنع نفسه من مخالفة عقله السليم.
(و) المقالة الثامنة عن الأعمش اسمه سليمان بن مهران الكوفي الرضي الله عنه: من كان رأس ماله التقوى كلت الأنسن عن وصف ربع دينه، ومن كان رأس ماله الدنيا كلت الألسن عن وصف خسران بينها والمعنى من تملك على التقوى باستثال أوامر الله تعالى و اجتناب المعاصي بأن أسس أفعاله بموافقات الشرح فله حسنات كثيرة لا تحصى، ومن تمسك على أمور مخالفات المشرع الله سيئات كثيرة عجرت الألسن عن ذكر ذلك بالعدد
لو) المقالة التاسعة عن سفيان الثوري رضي الله عنه) وهو شيخ الإمام مالك كل معصية ناشئة من شهوة) أي اشتياق النفس إلى شيء (قوله يرجى غفراتها) أي المعصية وكل معصية) نشأت عن كبير) أي دعوى الفضل (فإنه لا يرجى غفراتها لأن معصية إبليس كان أصلها أي المعصية (من الكبير) يزعم أنه خير من سيدنا آدم (و) لأن (زفة) سيدنا آدم عليه السلام (كان أصلها من الشهوة) سبب التافه إلى ذوق