Artikel, Salam News. Id – Ibrahim bin Adham pernah ditanya, “Bagaimana engkau menemukan ketenangan?” Ia menjawab dengan penuh makna: tiga hal menjadi jawabannya. Ia berkata, “Aku melihat kuburan yang sunyi, tak ada teman; jalan panjang, tanpa bekal; dan Hakim tanpa bukti.”
Makna kalimat itu dalam. Ia menggambarkan hidup sebagai perjalanan sepi, tak terduga, yang pada akhirnya diadili oleh Allah. Ketenangan sejati tidak ditemukan dalam keramaian dunia. Ia lahir dari kesadaran akan kefanaan dan keagungan Allah.
Ketika melihat kuburan, ia menyadari bahwa semua akan berakhir. Tidak ada sahabat, hanya amal sebagai penentu. Saat memikirkan panjangnya jalan akhirat, ia mengakui ketidakmampuan diri. Ia tidak membawa cukup bekal ke sana.

Dan ketika memikirkan Allah sebagai Hakim, ia merasa takut. Ia tak memiliki cukup bukti untuk keselamatannya. Ini bukan ketakutan biasa, tapi bentuk kesadaran bahwa hidup harus digunakan untuk hal-hal yang bermakna dan kekal.
Zuhud: Menanggalkan Dunia Demi Akhirat
Ibrahim bin Adham dulunya adalah seorang pangeran. Hidupnya penuh kemewahan, namun hatinya tak pernah benar-benar damai. Suatu hari, saat berburu di padang, ia mendengar suara hati: “Apakah ini yang kamu ciptakan untuknya?”
Pertanyaan itu menghentak jiwanya. Ia sadar, hidupnya selama ini jauh dari tujuan penciptaannya sebagai hamba Allah. Ia turun dari kudanya, meninggalkan segalanya. Ia tukar pakaiannya dengan seorang penggembala, dan berjalan menuju Mekkah.
Itulah awal perjalanan spiritualnya. Ia tinggalkan istana demi kehidupan zuhud: sederhana, jujur, dan terarah pada akhirat. Zuhud bukan membenci dunia, tapi membebaskan hati dari keterikatan padanya. Dunia tak lagi jadi tujuan, hanya sarana.
Ibrahim bin Adham hidup dari kerja keras: panen, berkebun, merawat ladang. Ia tidak meminta-minta, tapi tetap mandiri. Ia berguru pada tokoh-tokoh besar seperti Sufyan al-Thawri dan Fudhayl bin ‘Iyadh. Ia menyerap ilmu, bukan hanya zuhud.
Ia menyusuri padang pasir, memasuki negeri Syam, dan wafat di sana. Namanya harum sebagai waliyullah yang penuh keikhlasan.
Hikmah dari Kesendirian dan Kekosongan
Tiga hal menjadi kunci keinsafan Ibrahim: kesendirian, perjalanan panjang, dan ketiadaan bukti di hadapan Allah. Kuburan yang sunyi mengajarkan pentingnya amal, bukan status. Hanya amal yang menemani saat tubuh berbaring dalam tanah.
Jalan akhirat yang panjang menyadarkan bahwa dunia hanyalah awal. Tidak ada harta yang bisa dibawa kecuali amal saleh. Hakim yang adil, Allah SWT, melihat semua. Tapi jika kita datang tanpa bukti amal, bagaimana kita akan menjawab-Nya?
Kata-kata ini menggambarkan kesadaran mendalam. Bahwa hidup bukan tentang kenikmatan sesaat, tapi tentang bekal abadi.
Keintiman dengan Allah Menurut Sufyan al-Tsauri
Sufyan al-Tsauri, seorang ulama sufi besar, pernah ditanya: “Apa itu keintiman dengan Allah?” Jawabannya sangat dalam. Ia berkata: “Jangan nyaman dengan setiap wajah rupawan, atau suara merdu, atau lidah yang fasih.”
Maknanya: jangan terpedaya oleh keindahan lahiriah. Keakraban dengan Allah menuntut hati yang bersih, bukan sekadar tampilan. Wajah yang elok bisa menipu, suara yang merdu bisa membelokkan, lidah fasih bisa menggiring pada kebatilan.
Keintiman dengan Allah adalah saat hati kita hanya bergantung pada-Nya. Bukan pada makhluk, bukan pada dunia.
Menemukan Makna Melalui Perjalanan Ruhani
Ibrahim bin Adham dan Sufyan al-Tsauri memberi teladan. Bahwa ketenangan dan keintiman dengan Allah tak bisa dibeli dunia. Ia didapat dari perjuangan meninggalkan kenyamanan dunia, untuk mengejar kenyamanan akhirat yang abadi dan hakiki.
Zuhud bukan hidup miskin, tapi membebaskan hati dari cinta dunia. Hidup sederhana tapi kaya makna dan arah. Kesadaran bahwa Allah adalah Hakim tanpa kita memiliki bukti membuat setiap langkah hidup harus penuh perhitungan.
Akhir Kata: Meniti Jalan Zuhud dan Keikhlasan
Kita bisa belajar dari mereka untuk menata hidup. Mengurangi keterikatan dunia, memperbanyak amal, dan menjaga hati tetap suci. Dalam dunia yang penuh tipu daya, kata-kata mereka seperti pelita. Menuntun pada jalan yang sunyi tapi terang benderang.
Zuhud, keintiman dengan Allah, dan ketenangan jiwa bukan hal mustahil. Tapi butuh kesadaran, keberanian, dan keikhlasan. Semoga kita semua diberi taufik untuk mengikuti jejak mereka, agar hidup kita bukan sekadar ada, tapi benar-benar berarti.(Red/Part.17)
Refrensi Kajian,
Kitab Nashaihul Ibad
وَعَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَنْعَمَ رَحِمَهُ اللهُ : أَنَّهُ قِيلَ لَهُ : بِمَ وَجَدَتَ الرُّهْدَ قَالَ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاء : رَأَيْتُ القبر موحشاً وَلَيْسَ مَعِي مؤنس، وَرَأَيْتُ طَرِيقاً طويلاً وَلَيْسَ معي زاد، وَرَأَيْتُ الجَبَّارَ قَاضِياً وَلَيْسَ فِي حُجَّةٌ.
وَعَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ رَحِمَهُ اللهُ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْأُنْسِ بِاللَّهِ تَعَالَى مَا هُوَ؟ : أَلَّا تَسْتَأْنِسَ بِكُلِّ وَجُو صَبِيحٍ، وَلَا بِصَوْتٍ عَيْبٍ، وَلَا بِلِسَانِ فَصيح
فقال
(و) المقالة الحادية والثلاثون (عن إبراهيم بن أدهم رحمه الله أنه قيل له:
بم وجدت الزهد) أي بأي شيء أحببت ترك راحة الدنيا طلباً لراحة الآخرة. روي أنه كان سلطاناً في بلده فترك السلطنة واجتهد في العبادة في مكة وغيرها .
وفي الرسالة القشيرية هو أبو إسحاق إبراهيم بن منصور من كورة بلج كان من أبناء الملوك فخرج يوماً متصيداً فأثار تعلياً أو أرنباً وهو في طلبه فهتف به هاتف: يا إبراهيم الهذا خلقت أم بهذا أمرت؟ ثم هتف به أيضاً من قربوس سرجه: والله ما لهذا خلقت ولا بهذا أمرت، فنزل عن دابته وصادف راعياً لأبيه فأخذ جية للراعي من صوف وليسها وأعطاه فرسه وما معه ثم إنه دخل البادية ثم دخل مكة وصحب بها سفيان الثوري والفضيل بن عياض ودخل الشام ومات بها وكان يأكل من عمل بدء مثل الحصاد وحفظ البساتين وغير ذلك اهـ.
(قال) أي سيدنا إبراهيم بثلاثة أشياء: رأيت القير موحشاً) أي قاطعاً للقلوب عن محبوباته وليس معي مؤنس) أي من يسكن قلبي ورأيت طريقاً طويلاً) أي مسافة بعيدة في الآخرة وليس معي زاد) يعينني على تلك المسافة ورايت الجبار) أي الذي يقهر العباد على كل ما أراد قاضياً وليس لي حجة) أي ما يدل على صحة دعواي.
(و) المقالة الثانية والثلاثون عن سفيان الثوري رحمه الله: أنه سئل عن الأنس بالله تعالى ما هو ؟ فقال : ( أي سفيان أن لا تستأنس بكل وجه صبيح) أي مشرق ولا بصوت طيب أي لذيذ في السماع وشارح في القلب والا بلسان فصيح) أي جيد.