Sumenep, Salam News. Id – Masalah sertifikat hak milik (SHM) di lokasi pagar laut kembali mencuat. Beberapa daerah seperti Kabupaten Tangerang, Banten, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sudah terlibat persoalan serupa. Kini, dugaan SHM muncul di perairan Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengonfirmasi adanya temuan tersebut.
Trenggono menyebutkan bahwa pihaknya telah mengirim tim untuk mengecek kebenaran dugaan SHM di perairan Sumenep. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun segera akan menginvestigasi legalitas penerbitan SHM tersebut. Penyelidikan ini untuk mengetahui dampaknya terhadap pengelolaan ruang laut di wilayah tersebut.
“Kami turunkan tim ke sana untuk menyelidiki lebih lanjut,” kata Trenggono dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI pada Kamis, 23 Januari 2025. Namun, Trenggono tidak memberikan detail lebih lanjut mengenai tim yang diterjunkan.Dilansir dari tempo

Masalah sertifikat di wilayah perairan Sumenep bukanlah yang pertama. Sebelumnya, pada tahun 2009, lahan laut seluas 20 hektar di Dusun Tapak Kerbau, Desa Gresik Putih, Sumenep, diterbitkan Sertifikat Hak Milik atas nama perorangan. Lahan tersebut rencananya akan digunakan untuk tambak garam, namun hal ini menuai protes keras dari masyarakat sekitar.
Menurut Siddik, seorang tokoh masyarakat, penerbitan sertifikat untuk lahan laut tersebut sangat merugikan warga yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil laut. “Kami sangat menentang hal ini karena lahan tersebut merupakan wilayah laut yang sudah digunakan oleh warga sejak dulu,” ungkap Siddik.
Siddik menambahkan, lahan tersebut sudah dikenal sejak zaman nenek moyang mereka sebagai wilayah laut. Maka, ia merasa sangat aneh apabila lahan laut bisa disertifikatkan untuk kepentingan pribadi. Masalah ini menambah ketegangan antara warga dan pihak-pihak yang terlibat dalam proyek tersebut.
Maemunah, seorang nelayan di Desa Gresik Putih, juga menyatakan kekecewaannya terkait penerbitan SHM atas lahan laut tersebut. Ia menjelaskan bahwa lokasi tersebut memang wilayah laut, bukan daratan, yang sudah sejak lama menjadi tempat mereka mencari ikan dan hasil laut lainnya. “Kami sangat kecewa, karena kami hidup dari laut, dan kini lahan itu akan dijadikan tambak garam,” ujarnya.
Persoalan reklamasi ini sudah menjadi perdebatan panjang di masyarakat. Sejak awal rencana reklamasi untuk tambak garam ini mencuat, masyarakat setempat terus menolak. “Kami tidak setuju dengan reklamasi ini. Laut itu tempat kami mencari nafkah,” tegas Siddik.
Penolakan terhadap reklamasi terus bergulir. Masyarakat meminta pemerintah untuk turun tangan agar masalah ini bisa diselesaikan dengan baik. Mereka berharap pihak berwenang, seperti Polda Jawa Timur dan Kementerian ATR/BPN, segera menyelesaikan kasus ini agar tidak merugikan warga.
Kasus sertifikat hak milik di perairan Sumenep mencuat kembali menambah daftar panjang konflik serupa di berbagai wilayah pesisir Indonesia. Persoalan ini semakin rumit karena berkaitan dengan hak pengelolaan laut dan kepentingan ekonomi. Pemerintah diminta untuk lebih tegas dalam memastikan hak-hak masyarakat pesisir terlindungi dengan baik.
Reklamasi untuk kepentingan tambak garam memang menjadi alasan utama pihak yang ingin mengelola lahan tersebut. Namun, bagi nelayan seperti Maemunah dan Siddik, hal tersebut hanya akan merugikan mereka. “Laut adalah tempat kami mencari rejeki, bukan untuk dijadikan tambak,” tambah Maemunah dengan penuh penyesalan.
Masalah ini tentu memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan pihak terkait lainnya. Masyarakat berharap bahwa keadilan akan ditegakkan agar mereka bisa terus hidup dengan tenang dan menggantungkan hidup dari laut yang telah menjadi sumber penghidupan mereka selama bertahun-tahun.(*/Red)