Sumenep, Salam News. Id – Sulit menemukan keikhlasan murni di tengah zaman serba transaksional ini. Bahkan dalam menjalankan ibadah, masih banyak orang berharap surga dan takut neraka—ibarat menukar amalan dengan ganjaran. Jika ibadah saja masih berharap balasan, bagaimana dengan aktivisme sosial yang sering dibumbui oleh kepentingan duniawi?
Topik ini mencuat dalam obrolan reflektif yang terjadi di Grup WhatsApp IKA PMII Sumenep. Salah satu tokoh yang hadir, mantan aktivis PMII Surabaya, Hambali Rasidi, mengangkat tema sensitif namun penting: Kepentingan Pribadi di Balik Aktivisme dan Spiritualitas.
Dalam suasana penuh perenungan, Hambali menyampaikan bahwa setiap individu membawa kepentingan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi—baik di wilayah duniawi maupun ukhrawi. Bahkan, menurutnya, kepentingan itu sering terselubung dalam rutinitas harian, termasuk dalam praktik ibadah.

“Benarkah tindakan kita murni karena Allah, atau karena hasrat tersembunyi?” tanyanya di tengah forum. Ia menantang para peserta untuk jujur pada diri sendiri, terutama dalam menilai cinta dan kebencian yang kita tampakkan kepada orang lain.
“Apakah kita benci karena Allah, atau karena keinginan pribadi yang tak terpenuhi dalam perjalanan dakwah?” lanjutnya. Begitu pula dengan rasa cinta, yang menurutnya bisa saja muncul karena faktor duniawi semata.
Dalam salah satu pernyataan yang menggugah, Hambali mengakui, “Jujur, saya sendiri belum lepas dari bayang materi.” Ucapan ini sontak membuat suasana hening—mengajak peserta merenung tentang keikhlasan pribadi masing-masing.
Ia menegaskan bahwa orang yang ikhlas sejati bahkan tidak berharap surga dan tidak takut neraka. “Mereka murni karena Allah,” jelasnya. Dalam bahasa Madura, ia menambahkan: “Mon tak melo paggun enger,” yang berarti jangan sampai tertipu oleh kepentingan pribadi.
Hambali mengkritik fenomena membungkus kepentingan dengan label agama atau kebenaran, hanya untuk memenuhi ego. “Terkadang kita membohongi hati sendiri, berpura-pura atas nama kebenaran, padahal yang dominan justru ego,” ujarnya.
Menurutnya, ibadah tak seharusnya menjadi alat transaksi dengan Tuhan. “Ibadah mestinya murni karena cinta, bukan karena imbalan,” tegasnya.
Dengan gaya khas Madura-nya, ia menyindir: “Cakna nom dolla, mon ghi sibuk duniawi, mon tak melo panggun enger.” Artinya, berhati-hatilah. Keterikatan terhadap dunia bisa menyesatkan, bahkan membungkus kepalsuan dengan spiritualitas.
Hambali mengajak peserta untuk menyelami suara hati, jujur menilai niat, dan berani melakukan introspeksi. “Langkah awal memperbaiki diri adalah menyadari bahwa kita belum tentu bersih dari bayang kepentingan,” ungkapnya.
Sambil tertawa, ia mengatakan, “Meloa beremma se meloa”—menekankan bahwa kita sering kali menipu hati sendiri demi alasan yang tampak benar.
Ia menutup forum dengan ajakan untuk menjadikan keikhlasan sebagai standar utama, tidak hanya dalam ibadah, tapi dalam seluruh aspek kehidupan. “Kalau tujuan kita benar karena Allah, maka dunia dan akhirat akan mengikuti. Tapi kalau karena materi, sia-sia,” tutupnya.(Red)